1. Latar BelakangSaat Olimpiade Beijing 2008, hujan menjadi kekhawatiran penyelenggara pesta olahraga akbar ini. China menyiapkan tiga teknologi mutakhir untuk menghindari hujan. Pertama, dia menyiapkan meriam penangkis udara yang berisi garam iodium untuk mengikat butiran air di awan. Kedua, dengan menyediakan peluncur roket jika upaya pertama gagal dilakukan. Ketiga, menggunakan pesawat ringan untuk menebarkan katalis pada awan hitam. Dan terbukti, dengan upaya pertama saja mendung berhasil disingkirkan dan olimpiade berlangsung tanpa hujan.
Tentu saja teknologi ini sangat mahal. Bangsa kita punya cara yang relatif murah dan mudah dilakukan yaitu dengan minta bantuan pawang hujan untuk menyingkirkan tetesan hujan di daerah tertentu. Pawang hujan sebagai perantara menurut kelaziman sebenarnya tidak boleh memasang tarif. Tetapi biasanya mereka diberi sangu (uang saku) mulai Rp250.000,00 sampai Rp1.500.000,00 bergantung jenis hajatan pengundang. Jika hanya acara khitan, pesta perkawinan, tentu lebih murah dibandingkan dengan acara besar seperti pentas musik, sepak bola, atau acara yang melibatkan banyak orang.
Bukan hanya murah, jasa pawang hujan dengan mantranya sebenarnya merupakan kekayaan budaya Indonesia. Di Jawa, keberadaan mereka masih tak tergantikan oleh teknologi karena terbukti hasilnya bisa diandalkan. Paling tidak bagi penyelenggara pertandingan sepak bola, nama Ki Ageng Sumari cukup dikenal. Dia dipercaya ‘menjaga’ situasi agar hujan tidak turun ketika Persebaya turun ke lapangan.
Mantra yang diucapkan Ki Ageng Sumari ini awalnya mantra kejawen tetapi kini dia menggunakan doa Islam sebagai pembuka meskipun ritualnya tetap kejawen. Profesi ini membuat Ki Ageng Sumari sering dimintai bantuan untuk menahan hujan di suatu tempat.
Ada lagi Joko Hari Nugroho, pawang hujan amatir yang dikenal dalam lingkungan terbatas yang bisa menahan hujan dengan doa-doa Islam yang sebenarnya tidak bisa dimasukkan dalam mantra. Tetapi karena Joko Hari Nugroho juga memasukkan unsur mantra, maka unsur ini yang akan dikaji maknanya.
Untuk mencegah agar tidak turun hujan di antara orang Betawi keturunan China memiliki kebiasaan untuk menusukkan sebutir bawang merah dan sebutir cabai merah pada tusuk sate yang kemudian ditancapkan pada pagar rumah. Untuk mencegah agar pada pesta pernikahan tidak turun hujan, orang Jawa Timur keturunan China mencegahnya dengan melarang mandi pada para calon mempelai sejak kemarin petangnya (Danandjaja, 1997:165).
Penelitian atas sastra lisan seperti mantra perlu dilakukan karena dari kajian-kajian ini akan terlihat budaya Indonesia yang beragam. Kajian linguistik pada mantra juga bisa menepis anggapan bahwa mantra selalu berkonotasi negatif. Bagi sebagian orang Jawa, sepanjang hidupnya selalu ada mantra yang menyertai mulai dari dalam kandungan, lahir, tumbuh, menikah, hingga mati. Ini menarik untuk dikaji.
Fungsi sastra lisan dalam masyarakat antara lain mengetahui apakah peranan sastra di dalam masyarakat. Jika sastra berperan dalam masyarakat, sedikit ataukah banyak ia mencerminkan keadaan budaya dan tata susunan masyarakat? Jika sastra lisan merefleksikan keadaan masyarakat, apakah yang direfleksikan itu (Hutomo, 1991:18).
Secara teori, kajian makna mantra akan menambah kekayaan penelitian linguistik mengenai bahasa yang digunakan dalam budaya masyarakat. Meski dianggap kuno, kenyataannya sampai saat ini mantra masih berkembang meski sudah dimodifikasi. Penelitian tentang mantra membuktikan bangsa ini memiliki kekayaan budaya yang layak diteliti. Kajian makna mantra akan menambah kekayaan penelitian sastra lisan maupun linguistik mengenai bahasa yang digunakan dalam budaya masyarakat. Jasa dan mantra pawang hujan masih banyak digunakan dalam masyarakat. Manfaat penelitian ini untuk mengetahui makna mantra yang digunakan pawang hujan.
Masalah yang akan dibahas hanya pada mantra dan bukan doa. Karena dua pawang hujan yang menjadi sumber data sudah mengolaborasikan mantra dengan doa Islam, maka doa Islam tidak akan dibahas karena tidak termasuk dalam mantra.
Ciri-ciri sastra lisan adalah penyebarannya melalui mulut, lahir di dalam masyarakat yang berdorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. Sastra lama menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat sebab sastra itu warisan budaya, tidak diketahui siapa pengarangnya dan oleh karena itu menjadi milik masyarakat. Sastra ini bercorak puitis, teratur, berulang-ulang, juga tidak mementingkan fakta dan kebenaran kebih menekankah pada aspek khayalan/fantasi yang tidak bisa diterima masyarakat modern. Biasanya, sastra lisan itu terdiri dari beberapa versi, menggunakan bahasa lisan sehari-hari, tidak menggunakan dialek, dan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap (Hutomo, 1991:3).
Mantra pawang hujan sebenarnya termasuk sastra lisan primer meskipun sekarang banyak yang menuliskan mantra milik pawang hujan ini. Sastra lisan primer adalah hasil sastra lisan yang tidak dikenal versi tulisnya dan penyampaiannya umumnya secara langsung dan terlebih dulu tidak perlu menghafalkan teks tulis. Sebaliknya, sastra lisan sekunder adalah hasil sastra lisan yag didahului oleh teks tulisannya. Teks tulis ini dibaca dan dihafal baru kemudian dilisankan pada khalayak pendengar (Hutomo, 1998:224).
Mantra merupakan salah satu produk sastra sebagai sebuah kebudayaan yang pernah mewarnai kehidupan masyarakat di Nusantara. Matra bisa berupa puisi lisan yang berpotensi memiliki kekuatan gaib atau semacam doa yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar dapat dimanfaatkan, mantra tidak cukup untuk sekadar dihafalkan, tetapi harus disertai laku mistik (Saputra, 2007:xxv).
Mantra menurut leksikon Sansekerta berasal dari kata man/manas ‘berpikir/pikiran’ dan tra/tri ‘melindungi’. Jadi, apabila kita berpijak pada pengertian tersebut, artinya mantra bersifat melindungi pikiran manusia dari nafsu-nafsu rendah duniawi. Secara sederhana mantra diartikan sebagai perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (KBBI, 2008:876). Tim Penyusun Kamus berpendapat tentang pengertian mantra adalah (1) perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib (misal: dapat menyembuhkan; mendatangkan celaka; dan sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Mantra memiliki banyak jenis berdasarkan fungsinya, yaitu mantra pengasihan, mantra kanuragan, mantra kasuksman, mantra pertanian, mantra dagang/penglarisan, mantra panyuwunan, mantra panulakan, mantra pengobatan, mantra trawangan/sorog, mantra panglarutan, mantra sirep/panglerepan, mantra pangracutan, dan mantra dhanyangan.
Era modern dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, ternyata masih menyisakan ruang bagi tradisi lisan, khususnya mantra. Namun pada kenyataannya tradisi lisan hanya mampu berkembang di pelosok-pelosok desa. Kebingungan manusia untuk membedakan antara tradisi dan modern, akhirnya menuntut manusia untuk menggabungkan antara yang dianggap tradisi dan yang dianggap modern. Dalam kehidupan masyarakat modern, tidak jarang mantra menunjukkan keberadaannya pada situasi-situasi tertentu.
Kesulitan dan kepenatan berbagai permasalahan hidup di zaman modern ini, oleh sebagian masyarakat Jawa khususnya, mantra dipercaya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai berbagai keinginannya. Yang menarik, mantra menunjukkan keberadaannya yakni mampu mengatasi berbagai permasalahan seperti rumah tangga, percintaan, ketenagakerjaan, kesehatan, hukum adat (warisan), pekerjaan, pertanian, tolak balak, tumbal, dan perdagangan.
Sebagai produk bahasa, mantra memiliki medan makna sesuai dengan latar belakang penuturnya. Menurut Harimurti Kridalaksana dalam Chaer (2002), medan makna (semantic field, semantik domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Istilah teori medan makna berkaitan dengan teori bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual, yang dapat dianalisis secara sinkronik, diakronis, maupun secara paradigmatik (Aminuddin, 2008:108). Ini dikuatkan oleh Sembiring (2005:49) dalam kumpulan tulisan Pesona Bahasa yang menyatakan medan merupakan istilah yang mengacu pada hal atau topik. Medan makna merupakan subjek atau topik dalam teks untuk pembicaraan.
Pandangan F. De Saussure dalam Parera (2004:138) mengungkapkan bahwa medan makna adalah suatu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada simililaritas atau kesamaan, kontak/hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata. Makna kata ditentukan oleh tempat titik yang menggambarkannya dalam keseluruhan jaringan. Aspek yang paling penting dari jaringan semantik ini ialah hubungan hierarki dari sebuah himpunan.
Kajian yang akan dipakai adalah makna mantra sebagai perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib dan medan makna menurut Harimurti Kridalaksana. Penelitian tentang fungsi mantra pawang hujan ini memanfaatkan teori Ruth Finnegan yang menguraikan pengaruh puisi lisan termasuk mantra. Menurut Finnegan, pengaruh puisi lisan tidak harus bergantung pada sifat permanen teks, tetapi pada lingkungan sekitar tempat puisi lisan (Sudikan, 2001:115). Secara umum, puisi lisan meliputi ritual penyembuhan, penyelesaian perselisihan, menambah kekhidmatan upacara, memberi kenyamanan, dan lain-lain.
2. Struktur Pembangun Mantra
Menurut Hartarta (2009), struktur mantra tidak memiliki pola umum, jadi unsur-unsur di atas tidak seluruhnya benar apabila diterapkan untuk mantra yang dimiliki pawang hujan. Secara garis besar struktur di dalam tubuh mantra menjadi 3 unsur yaitu awal/purwa, tengah/madya, dan akhir/wasana. Jika dijabarkan, struktur pembangun mantra biasanya terdiri dari beberapa hal berikut.
a. Komponen Salam Pembuka
Unsur pembuka adalah kata pertama yang terdapat pada mantra yang berisi salam pembuka. Biasanya menggunakan kata-kata yang diadopsi dari bahasa Arab, bahasa Sanskerta (Hindu), dan bahasa Jawa. Komponen pembuka merupakan pengakuan tunduk, takhluk, dan mohon perlindungan Allah penguasa semesta.
b. Komponen Niat
Secara tegas dan jelas dinyatakan dengan kata kunci niat. Makna kata niat sering disejajarkan dengan kata tekad. Dalam konteks pemanfaatan mantra tertentu harus disesuaikan dengan niat atau keinginan yang akan dicapai. Niat diungkapkan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Pengungkapan niat secara langsung melalui frasa niat ingsun (aku berniat), ingsun (sun) matek ajiku (aku berniat mengamalkan ajianku...), ingsun mateg mantram sakti kodrating Pangeran (aku mengamalkan mantram sakti dari Tuhan), dan sebagainya. Sedangkan pengungkapan niat secara tidak langsung adalah bahwa rasa niat tersebut terkandung di dalam mantra. Duh Allah Gusti muga-muga…. Niat memiliki kedudukan yang sangat penting karena keberhasilan atau hasil sebuah pekerjaan sangat bergantung dari niatnya.
c. Komponen Nama Mantra
Komponen ini berisi dengan penyebutan nama sebuah mantra yang hendak digunakan (diamalkan, dimelkan). Biasanya dimulai dengan frasa ajiku (si) (nama mantra), disebut langsung dengan kata sapaan mbok, sira, atau Ismuku (nama mantra). Komponen nama sebuah mantra, terletak di bagian depan dalam sebuah mantra, sehingga masuk sebagai salah satu unsur head ’kepala, pendahuluan’. Tidak semua jenis mantra memiliki komponen nama ini karena nama mantra itu sendiri sekadar dilisankan oleh pihak pemberi mantra (dukun, sesepuh). Jadi, unsur ini hanya memberikan identitas nama.
d. Komponen Sugesti
Unsur sugesti adalah unsur yang berisi metafora-metafora atau analogi-analogi yang dianggap memiliki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu membangkitkan potensi kekuatan magis atau gaib pada mantra. Sugesti yang diterima adalah memiliki hal yang serupa disebutkan oleh kalimat mantra. Komponen sugesti untuk beberapa mantra didominasi oleh sentuhan-sentuhan mitologi.
e. Komponen Visualisasi dan Simbol
Komponen viasualisasi boleh juga disebut sebagai komponen proses yang berisi perintah. Komponen ini merupakan bagian yang menggambarkan satu peristiwa yang menjadi tugas mantra terhadap sasarannya. Komponen visualisasi sangat dekat dengan komponen harapan dan gaya bahasa. Sedangkan simbol atau lambang yang terdapat di dalam mantra bisa juga merupakan sosok pembayangan yang terdapat di dalam mantra.
f. Komponen Nama Sasaran
Komponen ini berisi penyebutan nama sasaran (objek) yang hendak dituju. Sasaran dapat berupa nama perorangan maupun kelompok masyarakat (kolektif).
g. Komponen Tujuan
Unsur tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh pemantra dalam mengamalkan mantra. Komponen tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur mantra. Unsur tujuan juga berfungsi untuk membedakan mantra satu dengan mantra yang lain.
h. Komponen Harapan
Komponen ini merupakan komponen panyuwunan atau ’permintaan’ agar apa yang telah dilakukan (mengamalkan ajian atau mantra) dapat terlaksana dengan baik dan berhasil dengan gemilang.
i. Komponen Penutup
Unsur penutup merupakan larik akhir yang biasanya juga menggunakan kata-kata dari bahasa Jawa maupun Arab.
3. Kajian Data
a. Pengumpulan Data
Data diambil dari mantra Ki Ageng Sumari, seorang pawang hujan yang menjadi orang kepercayaan tim Persebaya saat tim sepak bola ini turun bertanding. Data kedua adalah mantra yang biasa dilafalkan Joko Hari Nugroho, junalis, jika akan menahan hujan saat hajatan berlangsung. Data yang akan dianalisis hanya mantra di luar doa Islam yang digabungkan dalam mantra mereka.
Penampilan Ki Ageng Sumari yang berbaju serba hitam saat melakukan ritual dalam sebuah acara, membuatnya langsung dikenali. Apalagi dia terus diam memerhatikan panggung yang menjadi 'tanggung jawabnya' selama acara berlangsung. Ki Ageng ini cukup modern karena dia familiar dengan teknologi komunikasi. Bahkan ketika dimintai data tentang mantra yang digunakannya saat menahan hujan dalam acara Jumpa Fans Cinta Fitri di Harian Surya, Jln. Rungkut Industri 68-70 Surabaya, pada 17 Januari 2010 dan Peresmian Gedung Baru Harian Surya pada 20 Januari 2010, Ki Ageng melafalkan dengan tegas. Supaya tidak terjadi salah persepsi, Ki Ageng kemudian menuliskan mantra itu di telepon selularnya dan dikirim lewat SMS.
Data tertulis ini tentu saja tidak menggunakan bahasa penuh singkatan yang khas SMS karena ini berupa mantra. Data ini ditulis seperti data asli penulisan Ki Ageng Sumari.
Wa iya kanas ta in wujudku kai fafa robuka… byak… byak…
Sun matek aji montro dirgo
Rogo mulyo roso jati ingsun
Podo sebo marang dumadi
Surodirojoyoningrat
Lebur dening pangastuti
Hayu hayu hayu rahayu
Kersaning Gusti kang moho suci
Mantra Joko Hari Nugroho:
Bismillahirachman hirrachim
Niat ingsun nerang udan
Kakang kawah adhi ari-ari
Sedulur papat lima pancer
Muhammad ya Rosulku
(Selanjutnya membaca Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, Annas, dan Ayat Kursi.)
b. Analisis Data
Setiap bentuk (lambang bunyi) memiliki makna atau mendukung makna. Analisis makna kadang-kadang menyampingkan analisis kata meski kata atau susunan kata kadang-kadang memiliki makna yang tidak dapat diramal dari makna keseluruhannya (Djajasudarma, 1999:49).
Wa iya kanas ta in wujudku kai fafa robuka… byak… byak…
Ini penulisan asli dari Ki Ageng Sumari. Maksudnya:
Waiya ka nastain
wujudku
Kaifafa Robbuka
Byak… byak…
Artinya
Waiya ka nastain
Dan kepadaNya kami minta pertolongan
Dan kepadaNya kami minta pertolongan
Wujudku
Ragaku
Hai ragaku
Kaifafa Robbuka
Perhatikan Tuhanmu
Perhatikan Tuhanmu
Byak… byak…
____ ____ (gerakan menyibak awan dan hujan)
Dan tersibaklah awan yang mengandung air hujan
Sun matek aji montro dirgo
Aku memasang jimat mantra udara
Aku tengah menggunakan kekuatan gaib dalam mantra di jagat raya
Rogo mulyo roso jati ingsun
Raga mulia rasa sejati aku
Seluruh raga dan rasaku
Podo sebo marang dumadi
Semua menghadap kepada yang terjadi
Pasrah pada apa yang akan terjadi
Surodirojoyoningrat
Angkara murka
Agar semua angkara murka
Lebur dening pangastuti
Mmelebur dengan memuja Yang Kuasa
Lebur bersama saat memuja Tuhan yang Mahakuasa
Hayu hayu hayu rahayu
Selamat selamat selamat selamat
Selamat, semuanya dalam diberkahi
Kersaning Gusti kang moho suci
Keinginan Tuhan yang maha suci
Sesuai dengan keinginan Tuhan yang Mahasuci
Makna mantra Ki Ageng Sumari ini untuk meminta agar awan tersibak, menyingkir, dari suatu tempat untuk sementara dengan seizin Tuhan. Meskipun telah menggunakan kekuatan, justru karena manusia tidak berdaya jika Tuhan tidak berkehendak, maka dia melebur seluruh rasa dan raga dalam kekuasaan Tuhan dalam kepasrahan total supaya angkara murka tidak mendekat. Dengan berserah sepenuhnya, maka seluruh alam akan selamat. Ini juga menjadi bentuk motiviasi untuk berjuang melawan kejahatan.
Mantra Ki Ageng Sumari menggabungkan doa Islam dengan mantra dengan melihat sisipan wujudku dalam dua doa Islam di awal mantra. Matek aji artinya menggunakan atau memanfaatkan kekuatan gaib yang terkandung di dalam mantra dengan mekanisme prosesi ritual yang berupa laku mistik.
Mantra Joko Hari Nugroho yang digunakan untuk menahan hujan adalah:
Bismillahirachman hirrachim
niat ingsun nerang udan
niat saya menahan hujan
Niat saya supaya hujan tidak turun
kakang kawah adhi ari-ari
kakak ketuban adik plasenta
Wahai saudaraku yang tak kelihatan
sedulur papat lima pancer
saudara empat lima pusat
Empat saudara spiritual dalam satu jiwa
Muhammad ya Rosulku
Nabi Muhammad Rosulku
Nabi Muhammad Rasulku
Selanjutnya membaca Al Fatihah (doa pembuka), Al Ikhlas (ketaukhidan, keesaan Tuhan), Al Falaq (menjauhkan dari maksud buruk), Annas (perlindungan diri dari godaan setan), dan Ayat Kursi (supaya merasa aman).
Medan makna mantra ini dapat dipahami dengan melihat makna dalam bahasa aslinya. Bukan hanya makna kalimat tetapi juga arti filosofi mantra ini. Kalimat kakang kawah adhi ari-ari sedulur papat lima pancer diambil dari Kitab Kidungan Purwajati yang dimulai dari lagu Dhandanggula. Menurut Heru S.P. Saputra (2007), sedulur papat atau saudara empat adalah marmati, kawah, ari-ari (plasenta), dan darah yang umumnya disebut rahsa. Semua itu berpusat di pusar si bayi, di setiap manusia.
Marmati artinya samar mati (takut mati). Umumnya bila seorang ibu mengandung maka pikirannya dipenuhi kekhawatiran akan mati. Rasa khawatir tersebut hadir lebih dulu sebelum keluarnya kawah (air ketuban), ari-ari, dan rahsa. Oleh karena itu rasa samar mati itu lalu dianggap sedulur tuwa (saudara tua). Saat proses kelahiran, air kawah (ketuban) akan keluar dulu sebelum bayi. Ini membuat kawah juga dianggap sedulur tuwa yang kemudian disebut kakang kawah. Setelah bayi lahir, proses itu diakhiri dengan keluarnya ari-ari (plasenta). Karena keluar kemudian, plasenta ini disebut sedulur enom atau adhi ari-ari.
Setiap kelahiran akan membuat banyak darah keluar. Keluarnya darah (rah = getih) ini pada waktu proses berakhir. Karena itu rahsa juga dianggap sebagai sedukur enom. Puser (tali pusat) bati umumnya akan pupak (gugur) ketika bayi berumur tujuh hari. Tali pusat yang lepas ini dianggap saudara bayi. Pusar inilah yang dianggap pusat saudara empat. Inilah yang disebut sedulur papat lima pancer.
Sedulur papat lima pancer ini juga berarti bahwa manusia memiliki empat saudara spiritual yang berupa hasrat dan satu jiwa (diri). Empat hasrat itu meliputi nafsu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah yang dituturkan dalam bahasa Jawa dari bahasa aslinya bahasa Arab. Sedangkan jiwa atau diri merupakan unsur kelima yang menjadi pusat dan bertugas mengendalikan empat unsur lainnya (Saputra, 2007:154).
Medan makna yang ada dalam mantra Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho tak bisa begitu saja dipahami karena penuh perlambang. Dalam konsep medan makna menurut Harimurti Kridalaksana, medan makna (semantic field, semantik domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Makna leksikal yang ada dalam dua mantra ini hanya bisa digambarkan dengan mengusung latar belakang budaya mereka. Keduanya dari Jawa dan dengan pemahaman atas realitas alam semesta dalam budaya Jawa, dua mantra ini bisa dipahami.
Kata-kata yang memiliki makna bersayap dan harus melihat kembali latar budayanya agar mengetahui maknanya adalah:
matek aji
rogo mulyo roso jati ingsun
marang dumadi
surodirojoyoningrat
pangastuti
hayu rahayu
Kakang kawah adhi ari-ari
Sedulur papat lima pancer
Mantra Ki Ageng Sumari ini meski sekuat tenaga ingin menahan hujan tetapi juga menunjukkan kerendahhatian sebagai manusia yang tak berdaya. Meski 80 persen usahanya berhasil, tetap ada 20 persen yang tak bisa dilakukannya.
Dalam mantra Joko Hari Nugroho, penyebutan saudara spiritual ini untuk menguatkan maksud. Menurutnya, semua tetap sesuai dengan kehendak alam tetapi dengan pendampingan saudara spiritual ini dia merasa lebih kuat memohon.
Tanpa memahami budaya yang melatarbelakangi kedua pawang ini, makna leksikal dalam mantra tak akan bisa didapat. Tanpa mengerti kisah panjang di belakang kalimat yang diucapkan, mantra ini hanya berfungsi sebagai susunan kalimat atau bisa dianggap sebagai puisi.
c. Ritual
Ada ritual yang digunakan keduanya. Ritual ini dipercaya bisa menjadi alat untuk menguatkan maksud menunda turunnya hujan. Ki Ageng Sumari melakukan ritual dengan pasa mutih, berpuasa dengan hanya makan nasi tanpa garam dan minum air putih, selama tiga hari. Jadi, Ki Ageng Sumari tak bisa menerima job mendadak karena dia harus menyiapkan diri.
Selain pasa mutih, sebelum hajatan diadakan, dia akan datang ke tempat itu untuk memasang sepasang janur. Janur ini diikat pada tiang yang menjadi pusat acara. Jika acaranya menggunakan panggung, maka janur diikat di dua tiang panggung. Jika acara dilakukan dalam gedung, dia akan mengikat sepasang janur di pintu masuk, kanan dan kiri.
Kadang-kadang karena alasan teknis, mendung yang sudah penuh titik air hujan tak bisa disibakkan. “Kalau sudah begini, saya justru akan menurunkan hujan sebelum acara. Jadi ketika acara dimulai, langit sudah bersih,” kata Ki Ageng Sumari dalam wawancara tanggal 20 Januari 2010.
Bisa jadi ada banyak pawang hujan yang diminta bantuan untuk ‘mengamankan’ daerah tertentu. Jika sudah begini akan terjadi ‘perang’ antarpawang. Kekuatan pawang yang menentukan siapa yang bisa memindahkan hujan ke daerah lain. Jika tidak ingin ‘perang’ dengan pawang lain, menurut Ki Ageng Sumari, biasanya diambil kesepakatan untuk mengalihkan hujan ke daerah yang sama.
Joko Hari Nugroho tak punya ritual khusus. Dia hanya salat lima waktu dan berdoa secara Islam. Satu-satunya alat yang digunakan adalah sapu lidi yang dipasang terbalik. Pada ujung sapu lidi ini ditancapkan bawang merah, bawang putih, dan cabai. Menurut Joko Hari Nugroho, ini kebiasaan warga Magetan ketika melangsungkan pernikahan. “Karena biasanya mereka menyiapkan masakan sendiri dalam jumlah besar dan memakai pekarangan terbuka, maka sapu lidi ini sebagai sarana untuk menahan hujan agar acara memasak tetap lancar,” kata Joko Hari Nugroho dalam wawancara tanggal 19 Januari 2010. Karena urusannya dengan dapur maka perlambang yang digunakan dalam alat juga berhubungan dengan isi dapur.
Ritual atau laku mistik menurut Heru S.P. Saputra adalah proses ritual yang dilakukan untuk mendapatkan kekuatan gaib. Dalam konsep Islam (santri), laku mistik dapat dilakukan dengan salat lima waktu secara khusyuk dan memperbanyak dzikir. Sedangkan dalam konteks tradisi atau abangan dapa dilakukan dengan cara puasa, semedi, dan lek-lekan. Laku mistik tersebut sebenarnya diperlukan oleh seseorang sebagai perantara untuk mencapai tingkat konsentrasi yang cukup tinggi yang kemudian menghasilkan tenaga psikokinetis (2007:xxiv).
4. Interpretasi
Ada bahasa yang memiliki keanggotaan lambang yang banyak untuk medan makna tertentu, misalnya bahasa Jawa (Pateda, 2001:256). Orang yang mempunyai kompetensi mengenai bahasanya tidak akan salah memilih konstruksi yang benar dan akan memiliki kata yang sesuai dengan pemakaiannya.
Mantra yang dilakukan pawang hujan Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho memiliki arti minta kepada Tuhan yang Mahakuasa agar hujan tidak turun di suatu tempat pada saat tertentu.
Medan makna dalam mantra pawang hujan Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho hanya dapat dimengerti dengan mengetahui latar belakang budaya keduanya dan latar belakang bahasa yang digunakannya. Mereka menggunakan bahasa Jawa dan dalam setiap kata dan kalimat memiliki arti khusus. Mantra yang dilafalkan tak hanya berupa deretan bunyi tetapi penuh makna. Tanpa memahami budaya yang melatarbelakangi, mantra ini hanya menjadi puisi yang tidak memiliki arti mendalam.
Pengetahuan akan budaya penutur asli akan membuat pemahaman atas bahasa yang digunakan menjadi lengkap. Kelengkapan ini diperlukan supaya tidak terjadi salah persepsi. Mantra yang digunakan oleh dua pawang hujan ini tidak untuk memanggil roh-roh tetapi justru untuk menguatkan diri dan pasrah kepada Tuhan.
Penelitian atas sastra lisan seperti mantra perlu dilakukan karena dari kajian-kajian ini akan terlihat budaya Indonesia yang beragam. Kajian linguistik pada mantra juga bisa menepis anggapan bahwa mantra selalu berkonotasi negatif. Bagi sebagian orang Jawa, sepanjang hidupnya selalu ada mantra yang menyertai mulai dari dalam kandungan, lahir, tumbuh, menikah, hingga mati. Ini menarik untuk dikaji.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 2008. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 1. Bandung: Refika Aditama.
Hartarta, Arif. 2009. Mantra Jawa dalam penelitianmantra.blogspot.com.23 Juli.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: Himpunan
Sarjana Kesusastraan Indonesia.
Hutomo, Suripan Sadi. 1998. Kentrung Warisan Budaya Tradisi Lisan Jawa. Malang:
Yayasan Mitra Alam Sejati.
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Saputra, Heru S.P. 2007. Memuja Mantra. Jogjakarta: LKiS.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana.
Suyono, Capt. R. P. 2009. Mistisisme Tengger. Jogjakarta: LKiS.
Source Link