Muhammad bin Abdullāh adalah pembawa ajaran/agama Islam, dan diyakini oleh umat Muslim sebagai nabi dan rasul yang terakhir. Menurut sirah (biografi) yang tercatat tentang Muhammad, ia disebutkan lahir sekitar 20 April 570/ 571, di Mekkah (Makkah) dan wafat pada 8 Juni 632 di Madinah pada usia 63 tahun. Kedua kota tersebut terletak di daerah Hijazh, Arab Saudi. Nabi Muhammad haram digambarkan dalam bentuk patung, kartun ataupun gambar ilustrasi.
Michael H. Hart dalam bukunya The 100 menilai Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal spiritual maupun kemasyarakatan. Hart mencatat bahwa Muhammad mampu mengelola bangsa yang awalnya egoistis, barbar, terbelakang dan terpecah belah oleh sentimen kesukuan, menjadi bangsa yang maju dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan kemiliteran dan bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi yang saat itu merupakan kekuatan militer terdepan di dunia.
Kelahiran
Para penulis sirah (biografi) Muhammad pada
umumnya sepakat bahwa ia lahir pada Tahun Gajah, yaitu tahun 570 M,
yang merupakan tahun gagalnya Abrahah menyerang Mekkah. Muhammad lahir di kota
Mekkah, di bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan
daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun
ilmu pengetahuan. Ayahnya, Abdullah, meninggal dalam perjalanan dagang di Madinah,
yang ketika itu bernama Yastrib, ketika Muhammad masih dalam kandungan. Ia
meninggalkan harta lima ekor unta, sekawanan biri-biri dan seorang budak
perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian mengasuh Nabi.
Mekkah |
Pada saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah
binti Wahab mengajaknya ke Yatsrib (sekarang Madinah) untuk
mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam ayahnya. Namun dalam perjalanan
pulang, ibunya jatuh sakit. Setelah beberapa hari, Aminah meninggal
dunia di Abwa' yang terletak tidak jauh dari Yatsrib, dan dikuburkan di
sana. Setelah ibunya meninggal, Muhammad dijaga oleh kakeknya, 'Abd
al-Muththalib. Setelah kakeknya meninggal, ia dijaga oleh pamannya, Abu
Thalib. Ketika inilah ia diminta menggembala kambing-kambingnya di sekitar Mekkah dan
kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke negeri Syam (Suriah, Lebanon,
dan Palestina).
Hampir semua ahli hadits dan sejarawan sepakat
bahwa Muhammad lahir di bulan Rabiulawal, kendati mereka berbeda pendapat
tentang tanggalnya. Di kalangan Syi'ah, meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat,
17 Rabiulawal; sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada
hari Senin, 12 Rabiulawal (2 Agustus 570 M).
Perkenalan dengan Khadijah
Ketika Muhammad mencapai usia remaja dan
berkembang menjadi seorang yang dewasa, ia mulai mempelajari ilmu bela
diri dan memanah, begitupula dengan ilmu untuk menambah
keterampilannya dalam berdagang. Perdagangan menjadi hal yang umum dilakukan
dan dianggap sebagai salah satu pendapatan yang stabil. Muhammad sering
menemani pamannya berdagang ke arah Utara dan kabar tentang kejujuran dan
sifatnya yang dapat dipercaya menyebar luas dengan cepat, membuatnya banyak
dipercaya sebagai agen penjual perantara barang dagangan penduduk Mekkah.
Salah seseorang yang mendengar tentang kabar adanya anak
muda yang bersifat jujur dan dapat dipercaya dalam berdagang dengan adalah
seorang janda yang bernama Siti Khadijah. Ia adalah seseorang
yang memiliki status tinggi di kalangan suku Arab. Sebagai seorang
pedagang, ia juga sering mengirim barang dagangan ke berbagai pelosok daerah di
tanah Arab. Reputasi Muhammad membuat Khadijah memercayakannya untuk mengatur
barang dagangan Khadijah, Muhammad dijanjikan olehnya akan dibayar dua kali
lipat dan Khadijah sangat terkesan ketika sekembalinya Muhammad membawakan
hasil berdagang yang lebih dari biasanya.
Seiring waktu akhirnya Muhammad pun jatuh cinta kepada
Khadijah, mereka menikah pada saat Muhammad berusia 25 tahun. Saat itu Khadijah
telah berusia mendekati umur 40 tahun, namun ia masih memiliki kecantikan yang
dapat menawan Muhammad. Perbedaan umur yang jauh dan status janda yang dimiliki
oleh Khadijah tidak menjadi halangan bagi mereka, walaupun pada saat itu suku Quraisy memiliki budaya yang
lebih menekankan kepada perkawinan dengan seorang gadis ketimbang janda.
Meskipun kekayaan mereka semakin bertambah, Muhammad tetap hidup sebagai orang
yang sederhana, ia lebih memilih untuk menggunakan hartanya untuk hal-hal yang
lebih penting.
Memperoleh
gelar
Ketika Muhammad berumur 35 tahun, ia ikut bersama kaum
Quraisy dalam perbaikan Ka'bah. Pada saat pemimpin-pemimpin suku Quraisy
berdebat tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad.
Hajar Aswad |
Muhammad dapat
menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan penyelesaian adil. Saat itu ia
dikenal di kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya
sangat mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar Al-Amin yang
artinya "orang yang dapat dipercaya".
Diriwayatkan pula bahwa Muhammad adalah orang yang percaya
sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan
membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan sombong yang lazim di kalangan bangsa
Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi orang-orang miskin, janda-janda tak
mampu dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong
mereka. Ia juga menghindari semua kejahatan yang sudah membudaya di kalangan
bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras,
berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq yang
berarti "yang benar".
Kerasulan
Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang
yang senang dengan kekerasan dan pertempuran dan menjelang usianya yang ke-40,
ia sering menyendiri ke Gua Hira' sebuah gua bukit sekitar 6 km sebelah
timur kota Mekkah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur. Ia
bisa berhari-hari bertafakur (merenung) dan mencari ketenangan dan
sikapnya itu dianggap sangat bertentangan dengan kebudayaan Arab pada zaman
tersebut yang senang bergerombol. Dari sini, ia sering berpikir dengan
mendalam, dan memohon kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan
kebodohan.
Peta Gua Hira |
Muhammad pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari
tanggal 17 Ramadhan/ 6 Agustus 611 M, diriwayatkan Malaikat Jibril datang
dan membacakan surah pertama dari Quran yang disampaikan kepada
Muhammad, yaitu surah Al-Alaq. Muhammad diperintahkan untuk membaca ayat yang
telah disampaikan kepadanya, namun ia mengelak dengan berkata ia tak bisa
membaca. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi
jawabannya tetap sama. Jibril berkata:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah,
yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Al-Alaq 96: 1-5)
Muhammad berusia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari ketika ayat
pertama sekaligus pengangkatannya sebagai rasul disampaikan kepadanya menurut
perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun
3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah atau tahun masehi (penanggalan
berdasarkan matahari). Setelah kejadian di Gua Hira tersebut, Muhammad kembali
ke rumahnya, diriwayatkan ia merasakan suhu tubuhnya panas dan dingin secara
bergantian akibat peristiwa yang baru saja dialaminya dan meminta istrinya agar
memberinya selimut.
Gua Hira |
Diriwayatkan pula untuk lebih menenangkan hati suaminya,
Khadijah mengajak Muhammad mendatangi saudara sepupunya yang juga seorang Nasrani yaitu Waraqah
bin Naufal. Waraqah banyak mengetahui nubuat tentang nabi terakhir dari
kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Muhammad,
Waraqah pun berkata, bahwa ia telah dipilih oleh Tuhan menjadi seorang nabi.
Kemudian Waraqah menyebutkan bahwa An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat
Jibril) telah datang kepadanya, kaumnya akan mengatakan bahwa ia seorang
penipu, mereka akan memusuhi dan melawannya.
Muhammad menerima ayat-ayat Quran secara berangsur-angsur
dalam jangka waktu 23 tahun. Ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan kejadian
faktual yang sedang terjadi, sehingga hampir setiap ayat Quran turun disertai
oleh Asbabun Nuzul (sebab/kejadian yang mendasari penurunan ayat).
Ayat-ayat yang turun sejauh itu dikumpulkan sebagai kompilasi bernama Al
Mushaf yang juga dinamakan Al- Qurʾān (bacaan).
Sebagian ayat Quran mempunyai tafsir atau
pengertian yang izhar (jelas), terutama ayat-ayat mengenai hukum Islam,
hukum perdagangan, hukum pernikahan dan landasan peraturan yang ditetapkan oleh
Islam dalam aspek lain. Sedangkan sebagian ayat lain yang diturunkan pada
Muhammad bersifat samar pengertiannya, dalam artian perlu ada interpretasi dan
pengkajian lebih mendalam untuk memastikan makna yang terkandung di dalamnya,
dalam hal ini kebanyakan Muhammad memberi contoh langsung penerapan ayat-ayat
tersebut dalam interaksi sosial dan religiusnya sehari-hari, sehingga para
pengikutnya mengikutinya sebagai contoh dan standar dalam berperilaku dan
bertata krama dalam kehidupan bermasyarakat.
Mukjizat
Seperti nabi dan rasul sebelumnya,
Muhammad diberikan irhasat (pertanda) akan datangnya seorang nabi,
seperti yang diyakini oleh umat Muslim telah dikisahkan dalam
beberapan kitab suci agama samawi, dikisahkan pula terjadi pertanda pada
masa di dalam kandungan, masa kecil dan remaja. Muhammad diyakini diberikan mukjizat selama
kenabiannya.
Umat Muslim meyakini bahwa Mukjizat terbesar Muhammad adalah Al-Qur'an,
yaitu kitab suci umat Islam. Hal ini disebabkan karena kebudayaan Arab pada
masa itu yang masih barbar dan tidak mengenal peradaban, namun oleh Al-Qur'an
hal itu berubah total karena Qur'an membawa banyak peraturan keras yang
menegakkan dasar-dasar nilai budaya baru di dunia Arab yang sebelumnya tidak
berperadaban serta mengeliminasi akar-akar kejahatan sosial yang mengakar di
dunia Arab, serta pada masa yang lebih dekat mengantarkan pemeluknya meraih
tingkat perabadan tertinggi di dunia pada masanya.
Mukjizat lain yang tercatat dan diyakini secara luas oleh
umat Islam adalah terbelahnya bulan, perjalanan Isra dan Mi'raj dari
Madinah menuju Yerusalem dalam waktu yang sangat singkat. Kemampuan
lain yang dimiliki Muhammad adalah kecerdasan serta kepribadiannya yang banyak
dipuji serta menjadi panutan para pemeluk Islam hingga saat ini.
Mendapatkan Pengikut
Selama tiga tahun pertama sejak pengangkatannya sebagai
rasul, Muhammad hanya menyebarkan Islam secara terbatas di kalanganteman-teman
dekat dan kerabatnya, hal ini untuk mencegah timbulnya reaksi akut dan masif
dari kalangan bangsa Arab saat itu yang sudah sangat terasimilasi budayanya
dengan tindakan-tindakan amoral, yang dalam konteks ini bertentangan dengan apa
yang akan dibawa dan ditawarkan oleh Muhammad. Kebanyakan dari mereka yang
percaya dan meyakini ajaran Muhammad pada masa-masa awal adalah para anggota
keluarganya serta golongan masyarakat awam yang dekat dengannya di kehidupan
sehari-hari, antara lain Khadijah, Ali, Zaid bin Haritsah dan Bilal.
Namun pada awal tahun 613, Muhammad mengumumkan secara terbuka agama Islam.
Setelah sekian lama banyak tokoh-tokoh bangsa Arab seperti Abu Bakar, Utsman
bin Affan, Zubair bin Al Awwam, Abdul Rahman bin Auf, Ubaidah
bin Harits, Amr bin Nufail yang kemudian masuk ke agama yang dibawa
Muhammad. Kesemua pemeluk Islam pertama itu disebut dengan As-Sabiqun
al-Awwalun atau Yang pertama-tama.
Penyebaran Islam
Sekitar tahun 613 M, tiga tahun setelah Islam disebarkan
secara diam-diam, Muhammad mulai melakukan penyebaran Islam secara terbuka
kepada masyarakat Mekkah, respon yang ia terima sangat keras dan masif, ini
disebabkan karena ajaran Islam yang dibawa olehnya bertentangan dengan apa yang
sudah menjadi budaya dan pola pikir masyarakat Mekkah saat itu. Pemimpin Mekkah Abu
Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila yang akan merusak tatanan
hidup orang Mekkah, akibat penolakan keras yang datang dari masyarakat
jahiliyyah di Mekkah dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin Quraisy
yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam awal disiksa, dianiaya,
dihina, disingkirkan, dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat Mekkah.
Walau mendapat perlakuan tersebut, ia tetap mendapatkan
pengikut dalam jumlah besar, para pengikutnya ini kemudian menyebarkan
ajarannya melalui perdagangan ke negeri Syam, Persia, dan kawasan
jazirah Arab. Setelah itu, banyak orang yang penasaran dan tertarik kemudian
datang ke Mekkah dan Madinah untuk mendengar langsung dari Muhammad, penampilan
dan kepribadiannya yang sudah terkenal baik memudahkannya untuk mendapat
simpati dan dukungan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini menjadi semakin
mudah ketika Umar bin Khattab dan sejumlah besar tokoh petinggi suku
Quraisy lainnya memutuskan untuk memeluk ajaran islam, meskipun banyak juga
yang menjadi antipati mengingat saat itu sentimen kesukuan sangat besar di
Mekkah dan Medinah. Tercatat pula Muhammad mendapatkan banyak pengikut dari
negeri Farsi (sekarang Iran), salah satu yang tercatat adalah Salman
al-Farisi, seorang ilmuwan asal Persia yang kemudian menjadi sahabat Muhammad.
Penyiksaan yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama
periode ini mendorong lahirnya gagasan untuk berhijrah (pindah) ke Habsyah (sekarang Ethiopia). Negus atau
raja Habsyah, memperbolehkan orang-orang Islam berhijrah ke negaranya dan
melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah. Muhammad sendiri, pada tahun 622 hijrah
ke Yatsrib, kota yang berjarak sekitar 200 mil (320 km) di sebelah Utara
Mekkah.
Hijrah ke Madinah
Peta Madinah |
Masyarakat Arab dari berbagai suku setiap tahunnya datang ke Mekkah untuk
beziarah ke Bait Allah atau Ka'bah, mereka menjalankan berbagai tradisi keagamaan
dalam kunjungan tersebut. Muhammad melihat ini sebagai peluang untuk
menyebarluaskan ajaran Islam. Di antara mereka yang tertarik dengan ajarannya
ialah sekumpulan orang dari Yatsrib. Mereka menemui Muhammad dan beberapa
orang yang telah terlebih dahulu memeluk Islam dari Mekkah di suatu tempat
bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam,
mereka lalu bersumpah untuk melindungi para pemeluk Islam dan Muhammad dari
kekejaman penduduk Mekkah.
Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yatsrib
datang lagi ke Mekkah, mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu
sebelumnya. Abbas bin Abdul Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum
menganut Islam, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengundang
orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yastrib dikarenakan situasi di
Mekkah yang tidak kondusif bagi keamanan para pemeluk Islam. Muhammad akhirnya
menerima ajakan tersebut dan memutuskan berhijrah ke Yastrib pada tahun 622 M.
Mengetahui bahwa banyak pemeluk Islam berniat meninggalkan
Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha mengcegahnya, mereka
beranggapan bahwa bila dibiarkan berhijrah ke Yastrib, Muhammad akan mendapat
peluang untuk mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang jauh lebih luas.
Setelah selama kurang lebih dua bulan ia dan pemeluk Islam terlibat dalam peperangan
dan serangkaian perjanjian, akhirnya masyarakat Muslim pindah dari Mekkah ke
Yastrib, yang kemudian setelah kedatangan rombongan dari Makkah pada tahun 622
dikenal sebagai Madinah atau Madinatun Nabi (kota Nabi).
Madinah |
Di Madinah, pemerintahan (kekhalifahan) Islam
diwujudkan di bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam bebas beribadah (salat) dan
bermasyarakat di Madinah, begitupun kaum minoritas Kristen dan Yahudi.
Dalam periode setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sering mendapat serangkaian
serangan, teror, ancaman pembunuhan dan peperangan yang ia terima dari penguasa
Mekkah, akan tetapi semuanya dapat teratasi lebih mudah dengan umat Islam yang
saat itu telah bersatu di Madinah.
Pembebasan
Mekkah
Tahun 629 M, tahun ke-8 H setelah hijrah ke Madinah,
Muhammad berangkat kembali ke Makkah dengan membawa pasukan Muslim sebanyak
10.000 orang, saat itu ia bermaksud untuk menaklukkan kota Mekkah dan
menyatukan para penduduk kota Mekkah dan madinah. Penguasa Mekkah yang tidak
memiliki pertahanan yang memadai kemudian setuju untuk menyerahkan kota Makkah
tanpa perlawanan, dengan syarat kota Mekkah akan diserahkan tahun berikutnya.
Muhammad menyetujuinya, dan ketika pada tahun berikutnya ketika ia kembali, ia telah
berhasil mempersatukan Mekkah dan Madinah, dan lebih luas lagi ia saat itu
telah berhasil menyebarluaskan Islam ke seluruh Jazirah Arab.
Muhammad memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji,
memusnahkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka'bah, dan kemudian
memberikan amnesti umum dan menegakkan peraturan Islam di kota Mekkah.
Wafat
Pagi itu, meski langit mulai menguning di ufuk timur, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Rasulullah dengan suara lemah memberikan kutbah terakhirnya, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, al-Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, bererti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasul yang tenang menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” keluh hati semua sahabat kala itu.
Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.
“Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah.
“Siapakah itu wahai anakku?”
Pagi itu, meski langit mulai menguning di ufuk timur, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Rasulullah dengan suara lemah memberikan kutbah terakhirnya, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, al-Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, bererti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga bersama-sama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasul yang tenang menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” keluh hati semua sahabat kala itu.
Manusia tercinta itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk.
“Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah.
“Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah.
Fatimah menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut telah datang menghampiri. Rasulullah pun menanyakan kenapa Jibril tidak menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.
Tapi, semua penjelasan Jibril itu tidak membuat Rasul lega, matanya masih penuh kecemasan dan tanda tanya.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak, sepeninggalanku?”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril meyakinkan.
Detik-detik kian dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan-lahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakitnya, sakaratul maut ini.” Perlahan terdengar desisan suara Rasulullah mengaduh.
Fatimah hanya mampu memejamkan matanya. Sementara Ali yang duduk di sampingnya hanya menundukan kepalanya semakin dalam. Jibril pun memalingkan muka.
“Jijikkah engkau melihatku, hingga engkau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril sambil terus berpaling.
Sedetik kemudian terdengar Rasulullah memekik kerana sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku,” pinta Rasul pada Allah.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali pun segera mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii, ummatii, ummatiii?” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran kemuliaan itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Source Link